BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Besarnya dampak global yang ditimbulkan oleh kecelakaan dan penyakit akibat kerja, demikian juga bencana industri yang besar dalam bentuk penderitaan manusia dan biaya ekonomi yang terkait dengan hal ini. Telah sejak lama menjadi sumber keprihatian di tempat kerja, pada tingkat nasional dan internasional. Signifikasi pada semua jenjang telah dilakukan untuk mengatasi persoalan, ILO (Internasional Labor Organization) mempekirakan lebih dari dua juta pekerja meninggal dunia akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dan secara global angka kematian terus meningkat.
Meskipun sudah tersedia perangkat hukum dan teknis, metodologi dan alat ukur guna mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja, maka dibutuhkan peningkatan kesadaran umum akan pentingnya Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan komitmen manajemen keamanan yang kuat untuk mengimplementasikan sistem K3 yang efektif dalam suatu pekerjaan. Agar angka keselamatan terhadap keselamatan dan kesehetan kerja serta keamanan karyawan dalam bekerja lebih baik.
B. Permasalahan
Angka keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang terjadi di lingkungan pekerjaan sering terjadi. Untuk mengatasi masalah –masalah K3, baik pada tingkat internasional maupun nasional, seringkali tersebar dan terpisah –pisah dan akibatnya tidak memiliki keterpaduan yang diperlukan untuk menghasilkan dampak efektif. Karena itu, ada kebutuhan untuk memberikan prioritas lebih tinggi kepada K3 pada tingkat internsional, nasioanal dan perusahaan dan untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat sebagai mitra untuk memprakarsai dan mengawal mekanisme bagi perbaikan sistem K3 nasional secara berkelanjutan.
C. Tujuaan
1. Mendefinisikan Karakteristik Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
2. Menguraikan Tujuan Manajement K3
3. Menjelaskan penerapan beberapa Sistem Manajemen K3.
4. Mengenali faktor terjadinya kecelakaan kerja
5. Mengenali Dampak Ekonomi dari K3.
6. Mengenali kekerasan di tempat kerja
7. Mengenali Karakteristik Individu dan Organisasi untuk Diawasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Karakteristik serta Peran Kesehatan Keselamatan dan Keamanan Kerja
Istilah keselamatan, kesehatan, dan keamanan kerja saling terikat erat. Istilah yang lebih luas dan tersamar adalah istilah “Kesehatan” yang merujuk kepada kondisi fisik, mental dan stabilitas, emosi secara umum. Menurut undang-undang dasar kesehatan yang dimaksud dengan ‘Kesehatan” adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup Produktif secara sosial dan ekonomis
1. Pengertian Kesehatan Kerja
Kesehatan kerja (occupational health) atau sering disebut dengan istilah Kesehatan Industri (Industrial hygiene) yaitu berkaitan dengan usaha-usaha, penyakit-penyakit dalam pekerjaan, dengan usaha-usaha. Penyakit dalam pekerjaan suatu upaya untuk menjaga kesehatan pekerjaan dan menjaga pencemaran di sekitar tempat kerja nya. Kesehatan mengacu pada kebebasan dari penyakit fisik maupun emosional (an employee’s freedom from physical or emotional illness). Masalah-masalah dalam bidang-bidang ini bisa secara serius memengaruhi produktivitas dan kualitas kehidupan kerja karyawan.
Menurut UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan kerja bagian ke-6 Pasal 23 dikemukakan bahwa :
a. Kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan produktifitas kerja yang optimal.
b. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
c. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
d. Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana di maksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Ayat 2 : “ Upaya kesehatan kerja pada hakikatnya merupakan penyerasian kepasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pekerjaa sesuai dengan jaminan sosial tenaga dan mencakup upaya peningkatan kesehatan, pencegah penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan”.
Ayat 3 : “ Tempat kerja adalah tempat terbuka tertutup, bergerak atau tidak bergerak, yang dipergunakan akan untuk memproduksi barang atau jasa oleh satu atau beberapa orang pekerja.”
2. Pengertian Keselamatan Kerja
Keselamatan (safety) mencakup perlindungan karyawan atau para pekerja dari cedera, luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan (the protection of employees from injuries caused by work-related accidents). Keselamatn tersebut adalah factor-faktor yang berhubungan dengan cedera stress berulang serta kekerasan di tempat kerja dan dalam rumah tangga.
Dalam ketentuan UU No. 14 tahun 1969 pasal 9 dan 10 dikemukakan bahwa : Tiap tenaga berhak mendapatkan perlindungan atau keselamatan, kesehatan, kesusialaan, pemeliharaan moral kerja perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Dasar keselamatan dan kesehatan kerja :
a. Setiap pekerjaan berhak memperoleh jaminan keselamatan kerja agar terhindar dari kecelakaan.
b. Setiap orang yang berada ditempat kerja harus dijamin keselamatan.
c. Tempat pekerjaan dijamin selalu dalam keadaan baik.
3. Pengertian Keamanan Kerja
Keamanan kerja adalah melindungi fasilitas pengusaha dan peralatan yang ada dari akses-akses yang tidak sah serta untuk melindungi para karyawan ketika sedang bekerja atau melaksanakan penugasan pekerjaan. Tentunya, mencegah adanya orang-orang yang tidak berhasil dalam mengakses sistem Internal perusahaan.
Keamanan bisa mencakup memberikan program bantuan emergenci bagi para karyawan yang menghadapi masalah kesehatan. Dengan semakin banyaknya kejahatan di tempat kerja, kemananan dari tempat kerja, menjadi perhatian besar untuk para pengusaha dan para karyawan.
B. Tujuan Manajement Kesehatan Keselamatan dan Keamanan Kerja
1. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan kerja yang setinggi-tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja bebas.
2. Sebagai upaya pencegahan dan pemberontakakan penyakit dan kecelakaan akibat kerja, pemeliharaan, dan penigkatan kesehatan, dan gizi tenaga kerja, perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktivitas tenaga manusia, pemberantasan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta kenikmatan kerja.
3. Menciptakan sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
C. Penerapan Sistem Manajemen K3
Langkah-langkah Penerapan Sistem Manajemen K3
1. Membangun Komitmen dan Membuat Kebijakan
Komitmen dan kebijakan tersebut harus ditinjau ulang secara berkala. Pemimpin perusahaan pada saat jenjang harus menunjukkan komitmen terhadap K3 sehingga implementasi dan pengembangan SMK3 dapat terjamin. Demikian pula, setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja harus berperan serta dalam menjaga dan mengendalikan pelaksanaan K3.
2. Membuat Perencanaan
Perusahaan harus membuat perencanaan efektif guna mewujudkan keberhasilan penerapan dan kegiatan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan terukur. Perencanaan memuat tujuan, sasaran dan indikator kinerja. Tujuan, sasaran, dan indikator kinerja ini dirumuskan dengan mempertimbangkan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta hasil pelaksanaan tinjaun aawal terhadap K3. Perencanaan hendaknya dibuat dengan tujuan untuk membuat sistem manajemen yang mendukung :
a. Kepatuhan atas, sekurang-kurangnya, peraturan perundangan nasional
b. Unsur-unsur sistem manajemen K3 organisasi
c. Perbaikan berkelanjutan atas kinerja K3
3. Menerapkan Kebijakan K3
Agar dapat mengimplementasikan kebijakan K3 secara efektif, perusahaan harus menetapkan persyaratan kompetensi K3, dan membuat dan memelihara tatanan untuk menjamin bahwa semua orang yang terlibat memiliki kompetensi untuk menjalankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban mereka.
Kompetensi K3 mencakup:
a. Pendidikan
b. Pengalaman kerja
c. Pelatihan kerja
d. Atau kombinasi dari itu semua.
4. Melakukan Pengukuran dan Evaluasi
Perusahaan harus memiliki sistem untuk mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja SMK3dan hasilnya harus dianalisis guna menentukan keberhasilan atau untuk melakukan identifikasi tindakan perbaikan. Perusahaan juga harus menetapkan dan memlihara prossedur inspeksi.
Inspeksi keselamatan (safety inspection) dirancang untuk memeriksa bidang spesifik dari organisasi untuk menemukan dan menetapkan tiap kerusakan dalam sistem, peralatan, pabrik atau mesin, atau kesalahan operasional yang bisa menjadi sumber kecelakaan.
D. Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh 2 faktor utama yakni faktor fisik dan faktor manusia. Kecelakaan kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni:
1. Kecelakaan akibat langsung pekerjaan (PAK)
2. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (PAHK)
Dalam perkembangan selanjutnya ruang lingkup kecelakaan ini diperluas lagi sehingga mencakup kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan atau transport ke dan dari tempat kerja. Dengan kata lain kecelakaan lalu lintas yang menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau dalam rangka menjalankan pekerjaannya juga termasuk kecelakaan kerja. Penyebab kecelakaan kerja pada umumnya digolongkan menjadi 2, yakni:
a. Faktor Fisik. Kondisi-kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman atau unsafety condition misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan sebagainya.
b. Faktor Manusia. Perilaku pekerja itu sendiri yang tidak memenuhi keselamatan, misalnya karena kelengahan, ngantuk, kelelahan, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian yang ada, 85 % dari kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia.
E. Dampak Kecelakaan Kerja
Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja :
1. Meninggal dunia
Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan sebelumnya.
2. Cacat permanen total
Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
3. Cacat permanen sebagian
Cacat yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama sekali tidak berfungsi.
4. Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produkti
Kekerasan di Tempat Kerja
F. Kekerasan di Tempat kerja
Menurut National Institute for Occupational Safety and Health ( NIOSH) kekerasan di tempat kerja didefinisikan sebagai tindakan-tindakan kekerasan, termasuk serangan fisik dan ancaman serangan, yang ditujukan kepada karyawan pada saat bekerja atau bertugas. Karena kekerasan di tempat kerja merupakan ancaman yang berkembang, beberapa pemberi kerja mencari perlindungan asuransi untuk dampak finansial dari peristiwa kekerasan di tempat kerja, sebuah ancaman yang sebelumnya dipandang sebagai risiko yang bisa ditanggung sendiri. Menurut NIOSH, pembunuhan adalah pembunuh nomor satu di tempat kerja bagi kaum wanita dan penyebab kematian ketiga bagi kaum pria setelah kecelakaan kendaraan bermotor dan kecelakaan yang berkaitan dengan mesin.
1. Karyawan yang Rentan
Ada sebagian karyawan yang paling rentan terkena kekerasan di tempat kerja yang mana itu biasanya di sebabkan oleh lokasi tempat ia bekerja, waktu bekerjanya, dan berkaitan dengan barang-barang yang penting, contohnya seperti uang dll. NIOSH mengidentifikasi faktor-faktor yang bisa menimbulkan risiko bagi seorang pengemudi sebagai berikut :
a. Bekerja dengan masyarakat umum
b. Bekerja dengan uang tunai
c. Bekerja sendirian
d. Bekerja di malam hari
e. Bekerja di wilayah dengan tingkat kejahatan tinggi
2. Organisasi yang Rentan
Menurut National Safe Workplace Institute, ciri-ciri tempat kerja berisiko tinggi meliputi hal-hal berikut :
a. Perselisihan buruh/manajem yang kronis
b. Banyaknya gugatan yang diajukan oleh para karyawan
c. Jumlah yang besar dari klaim ganti rugi kecederaan karyawan, khusunya untuk cidera psikologis.
d. Kurangnya karyawan dan tuntutan lembur yang berlebihan dalam gaya manajemen yang otoriter.
3. Konsekuensi Hukum Kekerasan di Tempat Kerja
Retensi yang ceroboh (negligent retention) adalah masalah yang bisa ditimbulkan oleh pemberi kerja ketika perusahaan mempertahankan sebagai karyawan orang-orang yang catatannya menunjukkan potensi kuat untuk melakukan kejahatan dan gagal mengambil langkah-langkah untuk menetralkan situasi kekerasan yang mungkin terjadi. Jika perusahaan tidak memperhatikan hal tersebut maka perusahaan harus bertanggung jawab secara hukum, bentuk akibat hukum dari kekerasan ditempat kerja antara lain:
a. Gugatan diskriminasi
b. Tuntutan ganti rugi karyawan
c. pihak ketiga atas kerusakan
d. Tuntutan terhadap gangguan privasi
e. tuntutan kekerasan lembaga keselamatan kerja dinegara tersebut.
4. Karakteristik Individu dan Organisasi untuk Diawasi
Dalam upaya menyaring orang-orang yang berperilaku kekerasan perusahaan berusaha mendeteksi karyawan yang melakukan tindakan agresif ringan dan menunjukkan perilaku-perilaku tertentu.
Beberapa perilaku yang perlu diwaspadai sebagai tanda peringatan bagi para pemberi kerja adalah:
a. Berteriak
b. Kemarahan yang meledak-ledak karena perselisihan kerja
c. Membuat pernyataan yang tidak sopan
d. Menangis
e. Penurunan energi atau fokus
f. Penurunan kinerja dan penampilan pribadi
g. Suka menyendiri
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko mengantisipasi atau mencegah kekerasan:
1. Harus ada proses yang siap membantu dalam pendeteksian awal kemarahan karyawan
2. Para supervisor dan staf SDM perlu dilatih cara menangani secara ahli isu-isu kekaryawanan
3. Perusahaan-perusahaan harus mempertimbangkan tindakan-tindakan untuk meminimalkan tindakan-tindakan kekerasan dan menghindari gugatan.
4. Mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang melarang masuk senjata-senjata ke dalam properti perusahaan, termasuk tempat parkir.
5. Dalam situasi yang mencurigakan, karyawan diwajibkan menyerahkan diri untuk perncarian senjata atau pemeriksaan untuk menentukan kesesuaian mental mereka dalam bekerja.
6. Memiliki kebijakan yang menyatakan bahwa organisasi tidak akan menoleransi setiap peristiwa kekerasan atau ancaman kekerasan sekalipun.
7. Memiliki kebijakan yang mendorong karyawan untuk melaporkan semua kegiatan yang mencurigakan atau bersifat kekerasan kepada manajemen.
8. Mengembangkan hubungan dengan pakar kesehatan mental yang akan siap saat kondisi darurat timbul.
9. Melengkapi resepsionis dengan tombol alarm (panic button) agar bisa memberi peringatak kepada petugas keamanan secara langsung.
10. Melatih para manajer dan resepsionis untuk mengenali tanda-tanda petingatan kekerasan dan teknik-teknik untuk meredakan sutuasi kekerasan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh elemen yang ikut terlibat dalam masyarakat.